Langsung ke konten utama

Terapi Okupasi Aktivitas Waktu Luang Terhadap Perubahan Gejala Halusinasi Pendengaran Pada Pasien Skizofrenia



Jurnal Terapi Okupasi Aktivitas Waktu Luang Terhadap Perubahan Gejala Halusinasi Pendengaran Pada Pasien Skizofrenia

1.             Judul jurnal dan penulis
Terapi Okupasi Aktivitas Waktu Luang Terhadap Perubahan Gejala Halusinasi Pendengaran Pada Pasien Skizofrenia, penulis jurnal ini adalah Ni Made Wijayanti, I Wayan Candra, dan I Dewa Made Ruspawan yang berasal dari Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar.
2.             Latar belakang
Menurut Benhard (2010) menjelaskan angka prevalensi skizofrenia di dunia adalah 1 per 10.000 orang per tahun. Angka prevalensi skizofrenia di Indonesia adalah 0.3 sampai 1 persen, terjadi pada usia 18 sampai 45 tahun, tetapi ada juga berusia 11 sampai 12 tahun. Penduduk Indonesia tahun 2013 mencapai lebih kurang 240 juta jiwa, maka diperkirakan sekitar 2,4 juta jiwa mengalami skizofrenia (Prabowo, 2010). Skizofrenia merupakan salah satu gangguan jiwa berat yang ditandai dengan gangguan realitas (halusinasi dan waham), ketidakmampuan berkomunikasi, afek yang tidak wajar atau tumpul, gangguan kognitif (tidak mampu berfikir abstrak) serta mengalami kesukaran melakukan aktivitas sehari-hari (Keliat, 2010). Satu diantaranya penanganan pasien skizofrenia yang mengalami halusinasi adalah dengan terapi okupasi.
Terapi okupasi merupakan suatu cara atau bentuk psikoterapi suportif yang penting dilakukan untuk  meningkatkan kesembuhan  pasien (Djunaedi  &  Yitnarmuti,  2008). Terapi okupasi membantu menstimulasi pasien melalui aktivitas yang disenangi. Aktivitas pekerjaan yang biasanya diberikan pada terapi okupasi di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali bersifat aktivitas kelompok seperti sembahyang bersama (sembahyang secara Agama Hindu karena mayoritas pasien adalah beragama Hindu), kegiatan olahraga (senam dan permainan), membuat sesajen, dan membuat dupa. Pasien dapat memilih kegiatan membuat kerajinan tangan seperti merenda, menyulam, menjahit, mengukir, dan melukis. Bagi pasien laki-laki aktivitas waktu luang biasanya diberikan kegiatan berupa menabuh gong atau gamelan Bali dan membuat batako.
3.             Desain penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pre eksperimental dengan rancangan One-group Pre-test-posttest Design.
4.             Waktu dan tempat penelitian
Waktu dan tempat penelitian adalah pasien dirawat di ruang Kunti Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali kurun waktu satu bulan yaitu bulan Mei-Juni 2013.
5.             Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah populasi terjangkau yaitu seluruh pasien skizofrenia dengan masalah keperawatan halusinasi pendengaran yang dirawat di ruang Kunti, sedangkan sampel sebanyak 20 orang. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian adalah non probability sampling jenis Quota Sampling.
6.             Instrumen
Instrumen pengumpulan data yang digunakan pada tahap pre test dan post test berupa lembar wawancara dan observasi untuk mengukur gejala halusinasi pada pasien skizofrenia berdasarkan instrumen yang sudah baku dari Rawlins, William dan Beck, (1993).


7.             Prosedure
Kegiatan penelitian diawali dengan melakukan bina hubungan saling percaya (BHSP) pada pasien skizofrenia yang mengalami halusinasi pendengaran serta yang memenuhi kriteria inklusi. Selanjutnya dilakukan pengumpulan data berupa pre test pada pasien skizofrenia yang mengalami halusinasi pendengaran. Setelah melakukan pengukuran pre-test pada sample penelitian berkaitan dengan gejala halusinasi, peneliti melakukan terapi okupasi kepada responden penelitian.
Terapi okupasi dilakukan terdiri dari empat tahap yaitu tahap persiapan, tahap orientasi, tahap kerja, dan tahap terminasi. Jenis terapi okupasi yang diberikan adalah aktivitas waktu luang seperti menyapu, membersihkan tempat tidur dan membuat canang/sesajen. Waktu untuk melakukan tiap-tiap aktivitas tersebut adalah 45 menit. Aktivitas menyapu, membersihkan tempat tidur dan membuat canang/sesajen dilakukan sehari dua kali dan dilakukan secara bergantian selama 7 hari. Setelah terapi okupasi dilaksanakan selama 7 hari, dilakukan pengukuran kembali (post-test) gejala halusinasi pendengaran pada pasien skizofrenia
8.             Analisa data
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Wilcoxon sign rank test. Pada penelitian ini didapatkan nilai p=0,001<p=0,050 yang berarti ada pengaruh terapi kerja terhadap perubahan gejala halusinasi pada pasien psikosis.
9.             Hasil
No
Gejala Halusinasi
pre-test
f
%



1
Berat
8
40,00

2
Sedang
12
60,00

3
Ringan
0
0


Total
20
100

Tabel di atas menunjukkan gejala halusinasi pendengaran yang dialami pasien skizofrenia sebelum diberikan terapi okupasi aktivitas waktu luang paling banyak dalam kategori sedang yaitu 12 orang (60 %). Hasil penelitian diperoleh sebelum diberikan terapi kerja sebagian besar yaitu 7 orang (70%) gejala halusinasi dalam kategori berat. Hasil penelitian menyebutkan bahwa sebelum diberikan terapi okupasi aktivitas menggambar sebagian besar yaitu 17 orang (85%) mengalami peningkatan frekuensi halusinasi. Gejala halusinasi pasien skizofrenia setelah (pos-test) diberikan perlakuan

No
Gejala halusinasi
pos-test
f
%



1
Berat
2
10,00

2
Sedang
6
30,00

3
Ringan
12
60,00


Total
20
100

Tabel di atas menunjukkan gejala halusinasi pendengaran yang dialami pasien skizofrenia setelah diberikan terapi okupasi aktivitas waktu luang paling banyak dalam kategori ringan yaitu 12 orang (60,00%). Hasil penelitian sejenis belum ada,akan tetapi peneliti menemukan penelitian yang dilakukan oleh Purwanto (2010) mengenai pengaruh terapi kerja terhadap perubahan gejala halusinasi pada pasien psikosis di RSJ Daerah Surakarta. Hasil penelitian diperoleh setelah diberikan terapi kerja sebagaian besar yaitu 9 orang (90%) gejala halusinasi dalam kategori ringan.
Hasil penelitian menunjukkan sebagaian besar gejala halusinasi pendengaran yang dialami responden setelah diberikan terapi okupasi aktivitas waktu luang dalam kategori ringan, dan 15 responden mengalami penurunan gejala halusinasi pendengaran. Terjadinya penurunan gejala halusinasi pendengaran setelah diberikan terapi okupasi karena pada saat pelaksanaan terapi pasien diajari melalui tuntunan oleh pemimpin terapi okupasi atu fasilitator untuk melakukan tindakan tertentu yaitu dituntun untuk fokus dan berespon pada stimulus yang diberikan dengan positif
10.         Diskusi
Terapi okupasi berpengaruh terhadap perubahan gejala halusinasi pendengaran pada pasien skizofrenia karena proses terapi okupasi adalah merangsang atau menstimulasikan pasien melalui aktivitas yang disukainya dan mendiskusikan aktifitas yang telah dilakukan untuk mengalihkan halusinasi pada dirinya. itu, selain adanya pengaruh terapi okupasi terhadap gejala halusinasi pada pasien skizofrenia ini disebabkan karena pada saat pelaksanaan terapi okupasi diberikan reinforcement positive atau penguatan positif yang salah satunya melalui pujian pada tugas-tugas yang telah berhasil pasien lakukan seperti pasien mampu melakukan aktivitas waktu luang dengan baik.
Dengan memberikan reinforcement positive, responden merasa dihargai dan keinginan bertambah kuat untuk mengulangi perilaku tersebut sehingga terjadi pengalihan halusinasi dengan aktivitas-aktivitas yang dilakukan dan disenangi pasien. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Sudiatmika (2010) bahwa metode penguatan positif atau reinforcement positif memiliki pengaruh berarti terhadap pengulangan perilaku. Penguatan positif memiliki kekuatan yang mengesankan sebagai alat pembentuk perilaku. Aktivitas waktu luang yang dapat menurunkan gejala halusinasi pendengaran pada pasien skizofrenia.
11.         Masukan
Untuk instrumen yang digunakan tidak di lampirkan membuat sedikit kesulitan untuk mengaksesnya di internet.
12.         Kelemahan penelitian
Sedikitnya jumlah sampel yang ada mungkin juga dapat mempengaruhi hasil walaupun sudah menggunakan teknik sampling dengan pengamatan yang kontinue. Akan tetapi alangkah lebih baiknya penggunaan sampling yang bisa ditambah.
13.         Implikasi dalam keperawatan
Bisa diaplikasikan di keperawatan khususnya stase jiwa, dan TAK yang di laksanakan tidak hanya bisa untuk Pasien dengan Halusinasi saja akan tetapi dengan Pasien Waham, RPK, Isolasi Sosial hanya saja, untuk jenis kegiatan yang dibedakan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOP Bladder Training

Bladder Training 1.       Persiapan Alat ü   Klem kateter/ klem arteri ü   Penampung urin (pispot) ü   Alat pelindung diri (APD) 2.       Tahap Pra Interaksi ü   Verifikasi order : akan melakukan bladder training pada klien Ibu M. ü   Siapkan alat-alat ü   Siap bertemu dengan klien 3.       Tahap Orientasi ü   Berikan salam, panggil klien dengan nama serta memperkenalkan diri (“permisi Ibu< benar ini dengan Ibu M? oiyah baiklah ibu, perkenalkan ibu saya perawat Neza yang hari ini bertugas hari ini dari pukul 08.00 hingga pukul 14.00 siang nanti”) ü   Jelaskan prosedur dan tujuan tindakan pada klien dan keluarga (“Ibu , tujuan saya kesini yaitu akan melakukan bladder training, maksudnya yaitu ibu sedang terpasang selang pipis jadi agar ibu tidak terlalu bergantung dengan selang pipis maka akan saya latih pelan-pelan agar mampu nanti nya pipis dengan lancer dan normal apabila selang pipis telah dilepaskan. Mengingat kondisi ibu yang sudah semakin m

Laporan Pendahuluan Kebutuhan aman dan Nyaman :Nyeri Akut

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN KEBUTUHAN AMAN DAN NYAMAN : NYERI AKUT A.       DEFINISI Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan, yang bersifat subyektif, yang diakibatkan oleh kerusakan jaringan dan potensial kerusakan (Internasional Assosiation for the Study of Pain [IASP], 2012). Nyeri bersifat sangat individual yang dipengaruhi aspek biologi, sosial, dan spiritual. Sedangkan menurut NANDA Nursing Diagnosis (2011), nyeri adalah ketidaknyamanan sendori dan pengalaman emosional disebabkan adanya kerusakan jaringan secara aktual maupun potensial. Secara umum, nyeri dikategorikan menjadi nyeri akut dan nyeri kronik. Menurut NANDA (2011) nyeri akut adalah nyeri kurang dari 6 bulan dan nyeri Kronis adalah nyeri dengan durasi lebih dari 6 bulan. Pengkategorian tersebut sesuai dengan Smeltzer dan Barae (2010) bahwa nyeri dinyatakan kronis jika telah timbul selama 6 bulan atau lebih, terlalu lama untuk mengungkapkan bahwa nyeri termasuk nyeri kro

Laporan Pendahuluan Kebutuhan Pola Eliminasi

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN KEBUTUHAN POLA ELIMINASI : DIARE A.       DEFINISI Eliminasi merupakan proses pembuangan sisa-sisa metabolisme tubuh. Pembuangan dapat melalui urine atau bowel. (Tarwoto&Wartonah, 2006). Gangguan eliminasi fekal adalah keadaan dimana seorang individu mengalami atau berisiko tinggi mengalami statis pada usus besar, mengakibatkan jarang buang air besar, keras, feses kering. Untuk mengatasi gangguan eliminasi fekal biasanya dilakukan huknah, baik huknah tinggi maupun huknah rendah. Memasukkan cairan hangat melalui anus sampai ke kolon desenden dengan menggunakan kanul rekti. Eliminasi fekal adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh berupa bowel (feses). Pengeluaran feses yang sering, dalam jumlah besar dan karakteristiknya normal biasanya berbanding lurus dengan rendahnya insiden kanker kolorektal (Robinson& Weigley, 1989). Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut bowel movement. Frekwensi de