LAPORAN PENDAHULUAN
GANGGUAN KEBUTUHAN POLA ELIMINASI : DIARE
A.
DEFINISI
Eliminasi merupakan proses pembuangan
sisa-sisa metabolisme tubuh. Pembuangan dapat melalui urine atau bowel.
(Tarwoto&Wartonah, 2006).
Gangguan eliminasi fekal adalah keadaan
dimana seorang individu mengalami atau berisiko tinggi mengalami statis pada
usus besar, mengakibatkan jarang buang air besar, keras, feses kering. Untuk
mengatasi gangguan eliminasi fekal biasanya dilakukan huknah, baik huknah
tinggi maupun huknah rendah. Memasukkan cairan hangat melalui anus sampai ke
kolon desenden dengan menggunakan kanul rekti.
Eliminasi fekal adalah proses pembuangan
sisa metabolisme tubuh berupa bowel (feses). Pengeluaran feses yang sering, dalam
jumlah besar dan karakteristiknya normal biasanya berbanding lurus dengan
rendahnya insiden kanker kolorektal (Robinson& Weigley, 1989). Defekasi
adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut bowel
movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari beberapa
kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga bervariasi
setiap orang. Ketika gelombang peristaltik mendorong feses kedalam kolon
sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan individu menjadi
sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi. Eliminasi yang teratur dari sisa-sisa
produksi usus penting untuk fungsi tubuh yang normal. Perubahan pada eliminasi
dapat menyebabkan masalah pada gastrointestinal dan bagian tubuh yang lain. Karena
fungsi usus tergantung pada keseimbangan beberapa faktor, pola eliminasi dan
kebiasaan masing-masing orang berbeda. Klien sering meminta pertolongan dari
perawat untuk memelihara kebiasaan eliminasi yang normal. Keadaan sakit dapat
menghindari mereka sesuai dengan program yang teratur. Mereka menjadi tidak
mempunyai kemampuan fisik untuk menggunakan fasilitas toilet yang normal ;
lingkungan rumah bisa menghadirkan hambatan untuk klien dengan perubahan
mobilitas, perubahan kebutuhan peralatan kamar mandi. Untuk menangani masalah
eliminasi klien, perawata harus mengerti proses eliminasi yang normal dan
faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi Eliminasi produk sisa pencernaan yang
teratur merupakan aspek penting untuk fungsi normal tubuh. Perubahan eliminasi
dapat menyebabkan masalah pada sistem gastrointestinal dan system tubuh lainnya
Eliminasi adalah proses
pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa urin atau bowel (feses).
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga
disebut bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi
dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga
bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik mendorong feses kedalam
kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan individu
menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.
Gangguan
eliminasi fekal adalah keadaan
dimana seorang individu mengalami atau berisiko tinggi mengalami statis pada
usus besar, mengakibatkan jarang buang air besar, keras, feses kering. Untuk
mengatasi gangguan eliminasi fekal biasanya dilakukan huknah, baik
huknah tinggi maupun huknah rendah. Memasukkan cairan hangat melalui anus
sampai ke kolon desenden dengan menggunakan kanul rekti.
B.
PATOFISIOLOGI
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus
dan rektum. Hal ini juga disebut bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap
orang sangat bervariasi dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali
perminggu. Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika gelombang
peristaltik mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris
dalam rektum dirangsang dan individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk
defekasi.
Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu refleks defekasi instrinsik.
Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu refleks defekasi instrinsik.
Ketika feses masuk kedalam rektum,
pengembangan dinding rektum memberi suatu signal yang menyebar melalui pleksus
mesentrikus untuk memulai gelombang peristaltik pada kolon desenden, kolon
sigmoid, dan didalam rektum. Gelombang ini menekan feses kearah anus. Begitu
gelombang peristaltik mendekati anus, spingter anal interna tidak menutup dan
bila spingter eksternal tenang maka feses keluar.
Refleks defekasi kedua yaitu parasimpatis.
Ketika serat saraf dalam rektum dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord
(sakral 2 – 4) dan kemudian kembali ke kolon desenden, kolon sigmoid dan
rektum. Sinyal – sinyal parasimpatis ini meningkatkan gelombang peristaltik,
melemaskan spingter anus internal dan meningkatkan refleks defekasi instrinsik.
Spingter anus individu duduk ditoilet atau bedpan, spingter anus eksternal
tenang dengan sendirinya.
Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi
otot-otot perut dan diaphragma yang akan meningkatkan tekanan abdominal dan
oleh kontraksi muskulus levator ani pada dasar panggul yang menggerakkan feses
melalui saluran anus. Defekasi normal dipermudah dengan refleksi paha yang
meningkatkan tekanan di dalam perut dan posisi duduk yang meningkatkan tekanan
kebawah kearah rektum. Jika refleks defekasi diabaikan atau jika defekasi
dihambat secara sengaja dengan mengkontraksikan muskulus spingter eksternal,
maka rasa terdesak untuk defekasi secara berulang dapat menghasilkan rektum
meluas untuk menampung kumpulan feses. Cairan feses di absorpsi sehingga feses
menjadi keras dan terjadi konstipasi.
C.
MASALAH
GANGGUAN ELIMINASI FEKAL
1.
Konstipasi,
Merupakan gejala, bukan penyakit yaitu menurunnya frekuensi BAB disertai dengan pengeluaran feses yang sulit, keras, dan mengejan. BAB yang keras dapat menyebabkan nyeri rektum. Kondisi ini terjadi karena feses berada di intestinal lebih lama, sehingga banyak air diserap.
Merupakan gejala, bukan penyakit yaitu menurunnya frekuensi BAB disertai dengan pengeluaran feses yang sulit, keras, dan mengejan. BAB yang keras dapat menyebabkan nyeri rektum. Kondisi ini terjadi karena feses berada di intestinal lebih lama, sehingga banyak air diserap.
Tanda dan gejala konstipasi :
a. Menurunnya frekuensi BAB
b. Pengeluaran feses yang sulit, keras dan mengejan
c. Nyeri rektum
2.
Impaction
Impaction merupakan akibat konstipasi yang tidak teratur, sehingga tumpukan feses yang keras di rektum tidak bisa dikeluarkan. Impaction berat, tumpukan feses sampai pada kolon sigmoid. Tanda dan gejala Impaction adalah :
Impaction merupakan akibat konstipasi yang tidak teratur, sehingga tumpukan feses yang keras di rektum tidak bisa dikeluarkan. Impaction berat, tumpukan feses sampai pada kolon sigmoid. Tanda dan gejala Impaction adalah :
a.
Tidak BAB
b.
Anoreksia
c.
Kembung/kram
d.
nyeri rektum
3.
Diare
Diare merupakan BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak berbentuk. Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat. Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang menyebabkan meningkatkan sekresi mukosa. Akibatnya feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan menahan BAB. Tanda dan gejala diare adalah :
Diare merupakan BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak berbentuk. Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat. Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang menyebabkan meningkatkan sekresi mukosa. Akibatnya feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan menahan BAB. Tanda dan gejala diare adalah :
a.
BAB sering dengan cairan
dan feses yang tidak berbentuk
b.
Isi intestinal melewati
usus halus dan kolon sangat cepat
c.
Iritasi di dalam kolon
merupakan faktor tambahan yang menyebabkan meningkatkan sekresi mukosa.
d.
feses menjadi encer
sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan
menahan BAB.
menahan BAB.
4.
Inkontinensia fecal,
Inkontinensia fecal, yaitu suatu keadaan tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus, BAB encer dan jumlahnya banyak. Umumnya disertai dengan gangguan fungsi spingter anal, penyakit neuromuskuler, trauma spinal cord dan tumor spingter anal eksternal. Pada situasi tertentu secara mental pasien sadar akan kebutuhan BAB tapi tidak sadar secara fisik. Kebutuhan dasar pasien tergantung pada perawat. Tanda dan gejala :
Inkontinensia fecal, yaitu suatu keadaan tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus, BAB encer dan jumlahnya banyak. Umumnya disertai dengan gangguan fungsi spingter anal, penyakit neuromuskuler, trauma spinal cord dan tumor spingter anal eksternal. Pada situasi tertentu secara mental pasien sadar akan kebutuhan BAB tapi tidak sadar secara fisik. Kebutuhan dasar pasien tergantung pada perawat. Tanda dan gejala :
a.
Tidak mampu mengontrol BAB dan
udara dari anus,
b.
BAB encer dan jumlahnya banyak
c.
Gangguan fungsi spingter anal,
penyakit neuromuskuler, trauma spinal cord dan tumor spingter anal eksternal
5.
Flatulens
Fltulens yaitu menumpuknya gas pada lumen intestinal, dinding usus meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan kram. Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) atau anus (flatus). Hal-hal yang menyebabkan peningkatan gas di usus adalah pemecahan makanan oleh bakteri yang menghasilkan gas metan, pembusukan di usus yang menghasilkan CO2. Tanda dan gejala :
Fltulens yaitu menumpuknya gas pada lumen intestinal, dinding usus meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan kram. Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) atau anus (flatus). Hal-hal yang menyebabkan peningkatan gas di usus adalah pemecahan makanan oleh bakteri yang menghasilkan gas metan, pembusukan di usus yang menghasilkan CO2. Tanda dan gejala :
a.
Menumpuknya gas pada lumen
intestinal
b.
Dinding usus meregang dan
distended, merasa penuh, nyeri dan kram.
c.
Biasanya gas keluar melalui
mulut (sendawa) atau anus (flatus)
6.
Hemoroid
Hemoroid yaitu dilatasi pembengkakan
vena pada dinding rektum (bisa internal atau eksternal). Hal ini terjadi pada
defekasi yang keras, kehamilan, gagal jantung dan penyakit hati menahun.
Perdarahan dapat terjadi dengan mudah jika dinding pembuluh darah teregang.
Jika terjadi infla-masi dan pengerasan, maka pasien merasa panas dan gatal.
Kadang-kadang BAB dilupakan oleh pasien, karena saat BAB menimbulkan nyeri.
Akibatnya pasien mengalami konstipasi. Tanda dan gejala :
a.
pembengkakan vena pada
dinding rectum
b.
perdarahan jika dinding
pembuluh darah vena meregang
c.
merasa panas dan gatal jika
terjadi inflamasi
d.
nyeri
7.
FAKTOR
–FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBUTUHAN ELIMINASI
1.
Usia
Perubahan dalam tahapan perkembangan dalam mempengaruhi
status eliminasi terjadi disepanjang kehidupan. Seorang bayi memiliki lambung
yang kecil dan lebih sedikit menyekresi enzim pencernaan. Beberapa makanan,
seperti zat pati yang kompleks, ditoleransi dengan buruk. Bayi tidak mampu
mengontrol defekasi karana kurangnya perkembangan neuromuskolar. Perkembangan
ini biasanya tidak terjadi sampai 2 sampai 3 tahun. Pertumbuhan usus besar
terjadi sangat pesat selama masa remaja. Sekresi HCL meningkat khususnya pada
anak laki-laki. Anak remaja biasanya mengkonsumsi makana dalam jumlah lebih
besar. Sistem GI pada lansia sering mengalami perubahan sehingga merusak proses
pencernaan dan eliminasi. Beberapa lansia mungkin tidak lagi memiliki gigi
sehingga mereka tidak mampu mengunyah makanan dengan baik. Makanan yang
memasuki saluran GI hanya dikunyah sebagian dan tidak dapat dicerna karena
jumlah enzim pencernaan didalam saliva dan volume asam lambung menurun seiring
dengan proseas penuaan. Ketidakmampuan untuk mencerna makanan yang mengandung
lemak mencerminkan terjadinya kehilangan enzim limpase.
2.
Diet
Asupan makanan setiap hari secara teratur membantu
mempertahankan pola peristaltic yang teratur di dalam kolon. Makanan yang
dikonsumsi individu mempengaruhi eliminasi. Serat, residu makanan yang tidak
dapat dicerna, memungkinkan terbentuknya masa dalam materi feses. Makanan
pembentuk masa mengabsorbsi cairan sehingga meningkatkan masa feses. Dinding
usus teregang, menciptakan gerakan peristaltic dan menimbulkan reflex defekasi.
Usus bayi yang belum matang biasanya tidak dapat mentoleransi makanan berserat
sampai usianya mencapai beberapa bulan. Dengan menstimulasi peristaltic, masa
makanan berjalan dengan cepat melalui usus, mempertahankan feses tetap lunak.
Makanan-makanan berikut mengandung serat dalam jumlah tinggi (masa).
a.
Buah-buahan mentah
(apel,jeruk)
b.
Buah-buahan yang
diolah (prum,apricot)
c.
Sayur-sayuran
(bayam,kangkung,kubis)
d.
Sayur-sayuran
mentah (seledri,mentimun)
e.
Gandum utuh
(sereal, roti)
Mengkonsumsi makanan tinggi serat meningkatkan kemungkinan
normalnya pola eliminasi jika factor lain juga normal. Makanan yang
menghasilkan gas, seperti bawang, kembang kol, dan buncis juga menstimulasi
peristaltic. Gas yang dihasilkan membuat dinding usus berdistensi ,
meningkatkan motilitas kolon.
Beberapa makanan pedas dapat meningkatkan peristaltic ,
tetapi juga dapat menyebabkan pencernaan tidak berlangsung dan feses menjadi
encer.
Beberapa jenis makanan, seperti susu dan produk-produk susu, sulit atau tidak mungkin dicerna oleh beberapa individu. Hal ini disebabkan oleh intoleransi laktosa. Laktosa, suatu bentuk karbohidrat sederhana yang ditemukan di dalam susu, secara normal dipecah oleh enzim lactase. Intoleransi terhadap makana tertentu dapat mengakibatkan diare, distensi gas, dan kram.
Beberapa jenis makanan, seperti susu dan produk-produk susu, sulit atau tidak mungkin dicerna oleh beberapa individu. Hal ini disebabkan oleh intoleransi laktosa. Laktosa, suatu bentuk karbohidrat sederhana yang ditemukan di dalam susu, secara normal dipecah oleh enzim lactase. Intoleransi terhadap makana tertentu dapat mengakibatkan diare, distensi gas, dan kram.
3.
Asupan Cairan
Asupan
cairan yang tidak adekuat atau gangguan yang menyebabkan kehilangan cairan
(seperti muntah) mempengaruhi karakter feses. Cairan mengencerkan isi usus,
memudahkannya bergerak melalui kolon. Asupan cairan yang menurun memperlambat
pergerakan makanan yang melalui usus. Orang dewasa harus minum 6 sampai 8 gelas
(1400 sampai 2000ml) cairan setiap hari. Minuman ringan yang hangat dan jus
buah memperlunak feses dan meningkatkan peristaltic. Konsumsi susu dalam jumlah
besar dapat memperlambat peristaltic pada beberapa individu dan menyebabkan
konstipasi.
4.
Aktivitas Fisik
Aktivitas
fisik meninkatkan peristaltic, sementara imobilisasi menekan motilitas kolon.
Ambulasi dini setelah klien menderita suatu penyakit dianjurkan untuk
meningkatkan dipertahankannya eliminasi normal
Upaya
mempertahankan tonus otot rangka, yang digunakan selama proses defekasi,
merupakan hal yang penting. Melemahnya otot-otot dasar panggul dan abdomen
merusak kemampuan individu untuk meningkatkan tekanan intraabdomen dan untuk
mengontrol sfingter eksterna. Tonus otot dapat melemah atau hilang akibat
penyakit yang berlangsung dalam jangka waktu lama atau penyakit neurologis yang
merusak transmisi saraf.
5.
Faktor Psikologis
Fungsi dari hampir semua sistem tubuh dapat mengalami
gangguan akibat stress emosional yang lama. Apabila individu mengalami
kecemasan, ketakutan, atau marah, muncul respons stress, yang memungkinkan
tubuh membuat pertahanan. Untuk menyediakan nutrisi yang dibutuhkan dalam upaya
pertahanan tersebut, proses pencernaan dipercepat dan peristaltic meningkat.
Efek samping peristaltic yang meningkat antara lain diare dan distensi gas.
Apabila individu mengalami depresi, sistem saraf otonom memperlambat impuls
saraf dan peristaltic dapat menurun.
Sejumlah penyakit pada saluran GI dapat dikaitkan dengan
stress. Penyakit ini meliputi colitis ulseratif, ulkus lambung, dan penyakit
crohn. Upaya penelitian berulang yang dilakukan sejak lama telah gagal
membuktikan mitos bahwa penyebab klien mengalami penyakit tersebut adalah
karena memiliki kondisi psikopatologis. Namu, ansietas dan depresi mungkin
merupakan akibat dari masalah kronik tersebut (cooke,1991)
6.
Kebiasaan pribadi
Kebiasaan eliminasi pribadi mempengaruhi fungsi usus. Kebanyakan
individu merasa lebih mudah melakukan defekasi dikamar mandi mereka sendiri
pada waktu yang paling efektif dan paling nyaman bagi mereka. Jadwal kerja yang
sibuk dapat mengganggu kebiasaan dan mengakibatkan perubahan seperti
konstipasi. Individu harus mencari waktu terbaik untuk melaksanakan
eliminasinya. Reflex gastrokolik adalah reflex yang paling mudah distimulasi
untuk menimbulkan defekasi setelah sarapan.
7.
Posisi Selama
Defekasi
Posisi
jongkok merupakan posisi yang normal saat melakukan defekasi. Toilet modern
dirancang untuk memfasilitasi posisi ini, sehingga memungkinkan individu untuk
duduk tegak ke arah depan, mengeluarkan tekanan intraabdomen dan mengontraksi
otot-otot pahanya. Namun, klien lansia atau individu yang menderita penyakit sendi,
seperti artritis, mungkin tidak mampu bangkit dari tempat duduk tpilet
memampukan klienuntuk bangun dari posisi duduk di toilet tanpa bantuan.
Klien
yang mengguanakan alat tersebut dan individu yang berposter pendek, mungkin
membutuhkan pijakan kaki yang memungkinkan ia menekluk pinggulnya dengan benar.
Untuk
klien imobilisasi di tempat tidur, defekasi seringkali dirasakan sulit. Posisi
telentang tidak memungkinkan klien mengontraksi otot-otot yang digunakan selama
defekasi. Membantu klien ke posisi duduk yang lebih normal pada pispot. Akan
meningkatkan kemampuan defekasi.
8.
Nyeri
Dalam kondisi normal, kegiatan defekasi tidak menimbulkan
nyeri. Namun, pada sejumlah kondisi, termasukhemoroid, bedah rectum, fistula
rectum, bedah abdomen, dan melahirkan anak dapat menimbulkan rasa tidak nyaman
ketika defekasi. Pada kondisi-kondisi seperti ini, klien seringkali mensupresi
keinginanya untuk berdefekasi guna menghindari rasa nyeri yang mungkin akan
timbul. Konstipasi merupakan masalah umum pada klien yang merasa nyeri selama
defekasi.
9.
Kehamilan
Seiring dengan meningkatnya usia kehamilan dan ukuran fetus,
tekanan diberikan pada rectum. Obsetruksi semenmtara akibat keberadaan fectus
mengganggu pengeluaran feses. Konstipasi adalah masalah umum yang muncul pada
trimester terakhir. Wanita hamilselama defekasi dapat menyebabkan
terbentukannya hemoroid yang permanen.
10.
Pembedahan dan
Anestesi
Agen anestesi yang digunakan selama proses pembedahan,
membuat gerakan peristaltic berhenti untuk sementara waktu. Agens anestesi yang
dihirup menghambat impuls saraf parasimpatis ke otot usus. Kerja anestesi
tersebut memperlambat atau menghentikan gelombang peristaltic. Klien yang
menerima anestesi local atau regional beresiko lebih kecil untuk mengalami
perubahan eliminasi karena aktivitas usus hanya dipengaruhi sedikitt atau
bahkan tidak dipengaruhi sama sekali.
Pembedahan yang melibatkan manipulasi usus secara langsung, sementara akan menghentikan gerakan peristaltic. Kondisi ini disebut ileus paralitik yang biasanya berlangsung sekitar 24 sampai 48 jam. Apabila klien tetap tidak aktif atau tidak dapat makan setelah pembedahan, kembalinya fungsi normal usus dapat terhambat lebih lanjut.
Pembedahan yang melibatkan manipulasi usus secara langsung, sementara akan menghentikan gerakan peristaltic. Kondisi ini disebut ileus paralitik yang biasanya berlangsung sekitar 24 sampai 48 jam. Apabila klien tetap tidak aktif atau tidak dapat makan setelah pembedahan, kembalinya fungsi normal usus dapat terhambat lebih lanjut.
11.
Obat-obatan
Obat-obatan untuk meningkatkan defekasi telah tersedia .
laksatif dan katartik melunakkan feses dan meningkatkan peristaltic.
Obat-obatan seperti disiklomin HCL (Bentyl) menekan gerakan peristaltic dan
mengobati diare. Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat mengganggu
eliminasi. Obat analgesic narkotik menekan gerakan peristaltic. Opiat umumnya
menyebabkan konstipasi.
Obat-obatan antikolinergik, seperti atropin, atau
glikopirolat (robinul), menghambat sekresi asam lambung dan menekan motilitas
saluran GI. Walupun bermanfaat dalam mengobati gangguan usus, yakni
hiperaktivitas usus, agens antikolinegik dapat menyebabkan konstipasi, banyak
antibiotik menyebabkan diare dengan menggangu flora bakteri normal didalam
saluran GI. Apabila diare dan kram abdomen yang terkait dengan diare semakin
parah, obat-obatan yang diberikan kepada klien mungkin perlu diubah. Intervensi
keperawatan dapat digunakan untuk diare osmotic, yang disebabkan oleh obat-obatan
hiperosmolar.
12. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik, yang
melibatkan visualisasi struktur saluran GI, sering memerlukan dikosongkannya
isi dibagian usus. Klien tidak diizinkan untuk makan atau minum setelah tengah
malam jika esoknya akan dilakukan pemeriksaan, seperti pemeriksaan yang
menggunakan barium enema, endoskopi saluran GI bagian bawah atau serangkaian
pemereksaan saluran GI bagian atas. Pada kasus penggunaan barium enema atau
endoskopi, klien biasanya meneri,ma katartik dan enema.
Pengosongan usus dapat mengganggu
eliminasi sampai klien dapat makan dengan normal. Prosedur pemeriksaan
menggunakan barium menimbulkan masalah tambahan. Barium mengeras jika dibiarkan
di dalam saluran GI. Hal ini dapat menyebabkan konstipasi atau impaksi usus.
Seorang klien harus menerima katartik untuk meningkatkan eliminasi barium
setelah prosedur dilakukan. Klien yang mengalami kegagalan dalam mengevakuasi
semua barium, mungkin usus klien perlu dibersihkan dengan menggunakan enema.
8.
PATHWAY
9.
PENGKAJIAN
1.
Anamnesa
a.
Identitas diri
b.
Riwayat penyakit dulu
c.
Riwayat penyakit dari keluarga
d.
Pengkajian fisik (head to toe)
e.
Vital sign
2.
11 pola gordon
a.
Pola persepsi dan manajemen
kesehatan
b.
Pola nutrisi
c.
Pola eliminasi
d.
Pola katifitas dan latihan
e.
Pola persepsi dan konsep diri
f.
Pola istirahat dan tidur
g.
Pola peran dan hubungan
h.
Pola seksual dan reproduksi
i.
Pola stress dan koping
j.
Pola nilai dan kepercayaan
k.
Latihan
3.
Pengkajian Nyeri (OPQRSTUV)
10.
DIAGNOSIS KEPERAWATAN
Gangguan eliminasi (Diare) b/d
11.
INTERVENSI KEPERAWATAN
a.
Intervensi mandiri
O : Kaji status klien; deteksi defekasi terakhir, pola
normal defekasi, adanya hemoroid, mobilisasi, dan kontrol sfinger eksterna.
N: berikan kompres hangat untuk mengurangi rasa nyeri
diperut
E: anjurkan untuk tetap makan makanan yang tinggi serat
dan menghindari alergen
b.
Intervensi kolaborasi
C: kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat
cefotaxime
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian makanan
tinggi serat
Komentar
Posting Komentar